Jumat, 01 Juli 2011

Trauma yang menyelemuti anak – anak merapi


Bukan hanya letusan dan luncuran wedus gembel yang menjadi momok para korban dari gunung merapi, melainkan trauma akan letusannya yang kini menjadi sesuatu yang menakutkan bagi para korban merapi.
Bertambahnya korban yang tewas, bukan karena asap abu vulkanik ataupun tertimbun awan panas atau dengan kata lain  bukan hanya fisik saja yang menyebabkan mereka meninggal namun keadaan psikis yang menjadi salah satu penyebab mereka meninggal yang sebelumnya diikuti penyakit yang mematikan seperti stroke, hipertensi, ataupun serangan jantung yang terjadi secara mendadak.
Masalah psikologis inilah yang harus diperhatikan oleh semua kalangan masyarakat. Yang ternyata penanganan kesehatan mental tidak kalah penting dengan penanganan fisik. Kesehatan mental ini yang mengancam seluruh korban merapi dari yang tua sampai anak – anak. Oleh karena itu hal yang paling tepat adalah memberi terapi untuk anak. Kurang lebih 3076 anak dari 6 kecamatan yaitu kecamatan srumbung, kecamatan muntilan, kecamatan sawangan, salam, mungkid dan dukun yang ada di pengungsian mengalami trauma. Namun hanya 1200 yang baru menjalani terapi atau layanan bimbingan psikologi. Hal ini karena jumlah anak yang ditangani lebih banyak dari jumlah petugas yang menangani. Penanganan yang lambat akan berpengaruh pada kondisi mental anak – anak yang membuat mereka terancam menjadi pemurung, tertutup, minder, memiliki rasa takut yang berlebihan bahkan akan dapat mengganggu kecerdasan.
Anak – anak adalah generasi massa depan, jika meraka mengalami trauma berkepanjangan maka bagaimana dengan massa depan mereka. karakter anak yang masih polos, lugu, dan yang mempunyai daya ingat yang baik yang akan membuat lama penyembuhan trauma. Contoh betapa berpengaruhnya bencana merapi pada kondisi psikologis anak –anak. Pada latihan menggambar yang diberikan pada 107 anak di pengungsian di desa tanjung kecamatan muntilan 90% diantaranya mereka menggambar gunung meletus. Ini merupakan pengalaman traumatis bagi massa kecil mereka. Apalagi anak pra sekolah ( 4 – 5 tahun ) merupakan masa emas ( golden age). Karena  neuoran otaknya sedang mengalami perkembangan. Jika saat ini anak mengalami trauma maka meraka akan lebih suka melamun, mudah tersinggung, emosional yang akhirnya akan mempengaruhi tingkah laku dan perkataan mereka. Bahkan mereka cenderung merasa takut pada hal – hal yang kecil yang berhubungan dengan meletusnya merapi. Contohnya pada anak yang berasal dari boyolali. Setiap kali dia melihat masker maka yang terpikir di benaknya  adalah siap – siap mengungsi. Dan anak lainnya yang berasal dari cangkriman, sleman Yogyakarta. Saat dia mendengar gemuruh atau raungan sirine ambulans, anak itu akan merasa panik. karena itulah anak sangat rentan mengalami trauma psikis. Trauma jenis ini dikatakan sebagai post traumatic stress disorder ( PTSD ) yaitu rekaman yang menakutkan tentang pengalaman terjadinya bencana alam yang terus – menerus di benak para korban. Biasanya bentuknya berupa khayalan, mimpi, halusinasi dan flash back ( kilas balik ).
Untuk mengatasi stress atau trauma dengan cara melakukan latihan pernafasan dan teknik katarsis. Sehingga mereka dapat merasakan kelegaan dan kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri. Tetapi cara yang lebih ampuh untuk mengurangi trauma pada anak yaitu dengan mengajak mereka dengan bernyanyi, menari, bermain atau berwisata sejenak untuk berekreasi mengenal sejarah dan tentunya teknik ini harus dengan kesabaran meskipun awalnya begitu sulit. Tetapi dengan teknik tersebut anak akan berani untuk mengekspresikan dirinya lagi.
Kata orang bijak ada hikmah dibalik sebuah musibah. Ada pelajaran dibalik sebuah cobaan. Dengan meletusnya gunung merapi, ternyata seluruh kelompok masyarakat gotong royong, bahu membahu mencoba meringankan sedikit penderitaan para korban. Mereka bersatu untuk menolong tanpa pandang bulu.
Akhirnya anak adalah masa depan bangsa. Maka kita harus bisa member kesejukan dan kedamaian dalam hidup mereka agar trauma yang ada sedikit berkurang. Jangan smpai bencana alam merenggut keceriaan para tunas bangsa.

1 komentar: